Masih ingatkah Anda saat-saat menjelang ujian kala masih duduk di bangku sekolah? Sebagian teman Anda terlihat gugup, takut, khawatir, rasanya semua perasaan tak mengenakkan menghinggap setiap hari menjelang hari H. Tetapi, bagi sebagian teman lain, ujian bisa dijalani dengan tenang. Mengapa bisa begitu? Mungkin perbedaannya ada pada cara orangtua mendampingi teman-teman tersebut untuk menghadapi ujian.
"Setiap anak adalah masterpiece dari Sang Pencipta, sehingga dapat dipastikan tidak ada kesalahan dalam penciptaannya, kecuali jika Anda meragukan bahwa Sang Pencipta memang Maha Sempurna". Begitu kutipan dari Leonardo Da Vinci dituliskan oleh Dra.Rieny Hassan, psikolog, membuka makalahnya dalam sebuah talkshow bertajuk "Peran Orangtua Menghadapi Tes atau Ujian Negara" yang diselenggarakan Tabloid Nova, di sekolah Global Mandiri, Cibubur, beberapa waktu lalu.
Dra. Rieny membuka acara talkshow dengan melempar pertanyaan kepada para orangtua murid bagaimana cara mereka mendampingi anak-anaknya menghadapi ujian. Ia meminta para orangtua untuk bertanya kepada diri sendiri bagaimana mereka mempersiapkan anak menghadapi ujian? Apakah dengan cara membuat semacam countdown, misal, "Kamu sudah belajar belum? Ujiannya, kan tinggal 4 hari lagi!" atau tipe yang membuat anak khawatir, seperti, "Kamu sudah belajar Matematika belum? Kamu kan nilainya jelek di mata pelajaran itu." Padahal, cara-cara tersebut bisa menjadi hal yang tak baik untuk anak-anak karena hal-hal tersebut merupakan sebuah motivasi negatif yang membuat anak-anak cemas.
Terkait dengan upaya mempersiapkan anak menyongsong masa depan, adalah tugas orangtua untuk memotivasi, mendampingi, dan mendukung anak. Namun Dra. Rieny menyayangkan bahwa kecenderungan yang sebaliknya. Berikut adalah beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan para orangtua dalam mendampingi anak belajar di sekolah yang dibagikan Dra. Rieny:
* Ketahuilah bahwa setiap anak itu berbeda. Kecerdasan setiap orang pun berbeda-beda. Ketika si kecil tidak memberikan hasil yang setara dengan teman-teman sekelasnya, jangan kemudian melabelinya dengan kata-kata yang tidak membuatnya berkembang, seperti bodoh, tiak bisa dididik, atau lainnya yang bernada negatif. Hal-hal semacam ini akan tertanam pada dirinya dan membuat dirinya sulit berkembang.
* Ketika anak tidak memenuhi harapan, orangtua sibuk menyalahkan orang lain atau hal-hal di luar dirinya. Ada yang menyalahkan sekolah dan gurunya, ada pula yang menyalahkan anaknya. Dra. Rieny mengajak orangtua untuk bertanya kembali kepada diri masing-masing, "Anak yang gagal dididik atau kita, orang dewasa yang gagal mendidiknya?"
* Orangtua perlu menyadari bahwa tugas orangtua bukan memaksakan apa yang dianggap kebenaran sebagai hasil pengalamannya, tapi seharusnya memfasilitasi anak agar menemukan kebenaran melalui pengalamannya sendiri.
* Pahami gaya belajar anak. Bantu ia mengenali dirinya sendiri. Apakah anak lebih mudah menangkap dan mencerna informasi lewat pendengaran (mendengarkan langsung gurunya), penglihatan (membaca), peraba (mencoba langsung), atau kombinasi dari hal-hal tersebut?
* Kenalkan anak pada cara belajar efektif. Mengulang pelajaran yang diajarkan guru, membuat intisari dari tiap bab yang sudah dilalui, membiasakan berdiskusi tentang kaitan pelajaran dan kehidupan nyata sehari-hari.
* Kenali tahap perkembangan anak, karena pendampingan akan efektif bila Anda tahu si anak berada dalam perkembangan yang mana. Apalagi ketika anak sedang memasuki fase berontak, yang biasanya berada di usia 3, 11, dan 15-17 tahun.
* Biasakan untuk berorientasi pada proses, jangan hanya berorientasi pada hasil akhir. Anak perlu memperoleh reward atau usaha yang telah ia tuangkan, tidak melulu pada hasil akhir yang ia peroleh.
* Jangan biarkan ego atau gengsi Anda sebagai orangtua menjadi pendorong si kecil untuk mencapai nilai tertinggi. Di dalam gengsi ada unsur harapan dan keinginan yang bersifat pamer dari Anda,bukan pengakuan atas kelebihan dan kekurangan anak Anda. Misal, Anda mengatakan kepada si anak bahwa Anda malu ke sekolah karena nilainya selalu buruk dan selalu mengutarakan nilai buruk anak kepada ibu lain di hadapan si anak.
* Ingat, emosi itu menular, biasakan untuk membuat diri Anda berpikir, bersikap, dan berperilaku positif, agar energi yang memancar dari diri Anda juga terserap positif oleh anak.
* Upayakan untuk menjalin hubungan dengan guru, selain untuk membuat si anak melihat, bahwa gurunya bukanlah orang yang harus ditakuti, tapi untuk diajak berkomunikasi, juga untuk memonitor perkembangan anak. Plus, si guru pun akan merasa dihargai jika dimintai pendapatnya.
* Berikan hak anak untuk bermain, bergembira bersama teman sebaya, memiliki hobi dan peluang untuk menampilkan diri di bidang selain akademis. Dengan mengembangkan kesukaan, ia akan makin percaya diri, serta bisa jadi lebih semangat untuk mencoba hal lain, siapa tahu ia memang berbakat di bidang itu.
* Jangan ada kata lelah, putus asa, apalagi lengah dalam segala hal yang terkait dengan anak Anda. Antusiasme dan sikap ceria Anda, akan memberinya rasa aman dan nyaman dalam mengeksplor dirinya. Ini merupakan landasan kokoh bagi tumbuhnya kesadaran mandiri di dalam diri Anda untuk selalu mengoptimalkan potensi yang ia miliki.
* Konsistensi dalam perkataan dan kesabaran adalah hal yang penting dalam membesarkan anak. Disiplin yang tidak konsisten bisa membuat anak kebingungan, namun, kita pun perlu membaca situasi jika memang dibutuhkan sebuah fleksibilitas. Jangan lupa untuk mencoba memandang pertanyaan anak dari kacamata seorang anak.